Catatan Departemen Lingkungan Hidup dan Pengabdian Masyarakat
Kamis, 30 Desember 2010

Layakkah Jualan karbon? Solusi Atau Alasan??*
Efa Riana
Sekretaris Depertemen Lingkungan Hidup dan Pengabdian Masyarakat
BEM Universitas Riau
 
Gagasan perdagangan karbon (jualan karbon) yang dikenal dengan istilah carbon treading merupakan implementasi dari kesepakatan Protokol Kyoto 1997 tentang wacana penurunan gas rumah kaca (GRK) yang sampai saat ini telah 161 negara meratifikasi kesepakatan tersebut, kecuali Amerika dan Autralia. Penurunan gas ini dilakukan dengan cara perdagangan emisi (Emission Treading) dan Clean Development Mechanism (Mekanisme Pembangunan Bersih). Munculnya isu perdangan karbon internasional dilatar belakangi adanya ”Global Warming” (pemanasan global), sebagai efek rumah kaca. Emisi industri merupakan sumber kerusakan utama terbentuknya karbon di atmosfir yang menyebabkan pemanasan secara global. Indonesia termasuk negara yang meratifikasi Protok Kyoto yang berarti indonesia termasuk kedalam perdagangan karbon internasional. 
 
Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar yang bertujuan untuk melindungi karbon,  mengurangi lepas dan meningkatnya karbon di atmosfir dengan cara menjualnya ke negara-negara emisi. Negara-negara emisi memberikan kompensasi dana untuk pembangunan bagi negara yang telah mempertahankan karbon untuk negara-negara industri penyebab emisi. Perdagangan karbon tidak hanya terbatas pada mekanisme sekuestrasi, tetapi juga adanya teknologi-teknologi baru yang bersifat mengurangi emisi.
 
 Hutan memainkan peran yang sangat penting dalam perdangan karbon. Hutan indonesia dikenal sebagai ”paru-paru dunia” karena termasuk dalam hutan tropis, dimana secara biologi dalam proses fotosisntesis hutan menghasilakan O2 dan menyerap CO2 hasil aktifitas makhluk hidup secara keseluruhan sehingga keseimbanganpun terjaga. Berkaitan dengan fungsi hutan tersebut, muncul paradigma baru tentang manfaat hutan dalam penyimpanan karbon. Biomassa pohon dan vegetasi hutan berisi cadangan karbon yang sangat besar dan dapat memberikan keseimbangan siklus karbon bagi keperluan seluruh makhluk hidup dibumi. 
 
Mekanisme baru yang muncul dalam perdagangan karbon berkaitan dengan hutan adalah negara industri dan negara penghasil polutan diberi kesempatan untuk mengurangi emisi karbon akibat industri mereka dengan cara memberikan kompensasi dengan membayar negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga terjadi ”sequestration”(penyimpanan karbon). Dalam mekanisme CDM kriteria hutan yang bisa dimanfaatkan untuk carbon treading yaitu memiliki luas hutan minimal 0,25 ha, persentase tutupan tajuk 50% dan tinggi pohon minimal 5 meter. 
 
Indonesia dengan luasan hutan yang cukup besar, dengan adanya kompensasi perdagangan karbon memiliki peluang besar untuk menambah pemasukan, untuk kegiatan pembangunan. Pertanyaan yang mendasar adalah layakkah nilai yang ditawarkan dalam kompensasi perdagangan karbon tersebut dengan nilai kemanfaatan yang diperoleh indonesia dari kompensasi tersebut?. Sampai saat ini diindonesia sendiri masih dalam taham pembenahan-pembenahan aturan perdagangan karbon. Idealnya wacana perdagangan karbon ini dilakukan dinegara yang perekonomiannya telah stabil dengan kondisi masyarakat secara umum telah sejahtera karena masyarakat memiliki lahan yang mendapat kompensasi atas hutan mereka dan berkewajiban melindunginya dengan modal yang mereka miliki untuk merawat hutan. Sementara untuk negara miskin atau negara berkembang, model ini kurang efektif diterapkan karena modal lebih banyak digunakan dalam pembangunan ekonomi bahkan malah memanfaatkan hutan untuk modal dalam pembangunan. 
 
Beberapa hal yang menyebabkan kurang efektifnya sistem perdangan karbon diindonesia terlepas dari nominal yang ditawarkan adalah :
1.      Kesiapan kelembagaan untuk mengkoordinis alokasi dana kompensasi dengan harapan dana tersebut dapat dinikmati langsung oleh masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
2.       Kesiapan regulasi data secara detail dari tata ruang wilayah hingga ke sistem pembagian kompensasi yang diperoleh.
3.      Status kawasan hutan yang masih tumpang tindih.
4.      Moralitas seluruh elemen terkait dengan penggunaan dana kompensasi, dengan misi yang dicapai adalah kesejahteraan masyarakat, sehingga mengurangi dampak kegiatan mereka teradap hutan, khususnya masalah degradasi hutan.]

Secara umum dapat dikatakan, mampukah dengan dana kompensasi tersebut negara berkembang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan hutan sedangkan khususnya di Indonesia sebagian besar masyarakat masih memanfaatkan hutan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Jika dikaji lebih dalam sebagai bahan renungan dapat dikatakan bahwa perdagangan karbon adalah bentuk penindasan dan pengekangan negara maju, dimana negara berkembang tidak dapat membangun industri yang mengeluarkan emisi dan hal ini yang membuat ketergantungan negara berkembang dengan negara maju. Padahal tidak ada arti apa-apa nilai kompensasi yang diberikan ke negara berkembang dibanding dengan keuntungan yang mereka peroleh dari hasil jual kembali produk industri mereka. Dan satu hal yang mendasar bahwa tidak ada gunakanya perdagangan karbon yang dilakukan jika negara-negara industri juga tidak menekan produksi mereka yang menyebabkan emisi gas terbesar. Barangkali ini bisa dikatakan pembohongan negara maju terhadap negara berkembang.

*Retell ”kelayakan kompensasi yang ditawarkan dalam perdagangan karbon”Abdul razak, UGM.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar